Tangan – Tangan Digital

Melalui mesin pencarian maupun media sosial sumber utama informasi dapat mudah ditemukan karena kemampuan kedua alat tersebut telah melampaui media tradisional pada era digital sekarang. Alat-alat digital tersebut mempengaruhi persepsi, memodifikasi perilaku, dan membangun opini. Namun, ada sebuah masalah yang mengakar dengan alat-alat tersebut: penggunaan algoritma yang kemudian menyediakan informasi yang diselaraskan dengan profil pengguna. Hasil pencarian yang dipersonalisasi dan umpan media sosial akhirnya akan memperkokoh kepercayaan yang sudah ada sehingga tercipta opini yang ekstrem dan terpolarisasi. Yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya dunia pasca-kebenaran. Teknologi yang seharusnya memperkuat kemanusiaan kerap digunakan untuk memperbesar ruang kebohongan dan manipulasi—sebuah paradoks yang membuka gerbang menuju distopia sosial. Kita sebut saja era pasca- kebenaran atau post-truth, era ketika lebih sulit membedakan antara fakta dan kebohongan. Disinformasi ada di mana-mana, dari hoaks hingga hal-hal palsu. Dalam dunia digital yang dikuasai algoritma dan media sosial, informasi palsu dan hoaks menyebar dengan cepat, memperkuat bias dan memecah belah masyarakat. Kemampuan kecerdasan buatan (AI) yang disalahgunakan mempermudah pembuatan audio dan video palsu yang terlihat realistis.

Puncak dari kemampuan AI untuk merekayasa kebatilan adalah teknologi deepfake. Deepfake adalah konten video atau audio sintetis yang diciptakan oleh AI untuk menghasilkan citra dan suara palsu yang tampak sangat meyakinkan dan sulit dibedakan dari aslinya. Teknologi ini secara efektif mengaburkan batas antara fakta dan fiksi. Dengan kemampuannya, deepfake dapat digunakan untuk merusak reputasi individu, menyebarkan propaganda politik, memicu kekacauan sosial, bahkan mengancam stabilitas dan keamanan nasional suatu negara. Konten deepfake modern semakin kompleks, mampu menggabungkan video, audio, dan teks secara mulus, sehingga membuatnya nyaris mustahil untuk diidentifikasi oleh mata telanjang.

Selain deepfake, AI juga dimanfaatkan untuk menciptakan chatbot otomatis dan mengelola ribuan identitas palsu (dikenal sebagai bot) yang berfungsi sebagai “pasukan digital” untuk menyebarkan disinformasi secara masif dan terkoordinasi. Penelitian menunjukkan bahwa berita palsu menyebar enam kali lebih cepat daripada berita yang benar di platform media sosial. bot ini bekerja tanpa lelah untuk mengkloning dan menyebarkan konten palsu, dengan tujuan mempertajam kontroversi, membangun polarisasi, dan menciptakan konflik di ruang publik. Di sisi lain, kepercayaan publik terhadap media dan institusi semakin tergerus, karena batas antara fakta dan rekayasa menjadi kabur.

Ini adalah inti dari era pasca kebenaran yang menempatkan “kebenaran yang nyaman” di atas fakta ilmiah atau data objektif. Kondisi ini sangat relevan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang memperingatkan tentang fitnah besar di akhir zaman. Fitnah ini bukan hanya soal konflik fisik, tetapi juga kekacauan moral dan intelektual, di mana kebohongan menjadi norma dan kebenaran sulit dikenali.

Dijelaskan dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِـي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، اَلْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ وَالْقَائِِمُ خَيْـرٌ مِنَ الْمَاشِي، وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي، فَكَسِّرُوا قِسِيَّكُمْ وَقَطِّعُوا أَوْتَارَكُمْ وَاضْرِبُوا بِسُيُوفِكُمُ الْحِجَارَةَ، فَإِنْ دُخِلَ عَلَى أَحَدِكُمْ فَلْيَكُنْ كَخَيْرِ ابْنَيْ آدَمَ.

‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan muncul banyak fitnah besar bagaikan malam yang gelap gulita, pada pagi hari seseorang dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir di sore hari, di sore hari se-seorang dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir pada pagi hari. Orang yang duduk saat itu lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang berdiri saat itu lebih baik daripada orang yang berjalan dan orang yang berjalan saat itu lebih baik daripada orang yang berlari. Maka patahkanlah busur-busur kalian, putuskanlah tali-tali busur kalian dan pukulkanlah pedang-pedang kalian ke batu. Jika salah seorang dari kalian dimasukinya (fitnah), maka jadilah seperti salah seorang anak Adam yang paling baik (Habil).’” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak).

Hadis-hadis tentang fitnah akhir zaman menggambarkan masa saat manusia bingung membedakan benar dan salah, keadaan di mana kesesatan dan penipuan merajalela. Dalam kondisi itu, keadaan keimanan seseorang menjadi sangat labil—pagi beriman, sore menjadi kafir, atau sebaliknya. Ini menunjukkan betapa cepat dan dahsyatnya arus perubahan dalam masa fitnah, di mana nilai-nilai kebenaran dapat terbalik dalam waktu singkat karena pengaruh tekanan, informasi yang menyesatkan, atau kepentingan duniawi.

Berbagai ilmuwan dan filsuf menyoroti bahwa kemajuan teknologi tanpa kontrol moral berpotensi menciptakan dunia distopia di mana identitas dan realitas mudah dipalsukan atau dimanipulasi. Dalam konteks ini, era pasca kebenaran dilihat sebagai titik kritis yang menandai awal kehancuran sosial dan spiritual, mempercepat munculnya fitnah besar sebagaimana disebutkan dalam hadis.

Di suatu ketika saat menghadiri kajian dari Dai Muda bernama Agam Fachrul Samudra, beliau mengatakan dari apa yang disampaikan dalam surah Al-Lahab, Allah berfirman :

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” [Al-Lahab : 1]

Melalui ayat ini beliau membuat suatu perumpamaan bahwa jari-jari dan kedua tangan yang digunakan untuk menyebarkan informasi palsu, menulis hoaks, berkomentar yang mengujarkan kebencian atau kata – kata tak pantas, bagaikan kedua tangan abu lahab yang celaka dan binasa. Perumpamaan yang beliau angkat sangat mengena: tangan-tangan yang digunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak benar, menyulut kebencian, ataupun menyakiti sesama melalui tulisan maupun ucapan digital, bagaikan “tangan-tangan Abu Lahab” yang tercela dan dibinasakan. Gagasan ini berfungsi sebagai jembatan intelektual yang menghubungkan sebuah peristiwa historis lebih dari empat belas abad silam dengan krisis etika komunikasi yang melanda peradaban modern. Ia menyiratkan sebuah kebenaran fundamental: Al-Qur’an bukanlah sekadar artefak sejarah, melainkan teks yang hidup, dinamis, dan senantiasa relevan untuk menjawab tantangan zaman.

Analogi yang menghubungkan tangan Abu Lahab dengan perilaku di dunia maya bukanlah sebuah lompatan imajinasi yang dipaksakan. Ia merupakan sebuah ekstensi logis dari pemahaman metaforis “tangan” sebagai simbol perbuatan dan pengaruh, yang kini menemukan medium baru yang jauh lebih dahsyat. Jika di masa lalu tangan fisik adalah instrumen utama bagi manusia untuk berinteraksi dan memanifestasikan kehendaknya di dunia nyata, maka di era digital, jari-jemari yang menari di atas papan ketik atau layar sentuh telah menjadi “tangan digital” kita. Teknologi telah menjadi perpanjangan dari pikiran dan niat kita, memungkinkan penyebaran ide, pengaruh, dan perbuatan dengan kecepatan dan skala yang belum pernah terbayangkan dalam sejarah manusia. Setiap ketikan adalah sebuah tindakan. Setiap unggahan adalah sebuah pernyataan. Setiap kali tombol “kirim” atau “bagikan” ditekan, sebuah jejak perbuatan telah diukir di lanskap digital yang luas. “Tangan digital” inilah yang kini membangun reputasi, menyebarkan ilmu, mempererat silaturahmi, tetapi juga yang menghancurkan kehormatan, menebar fitnah, dan mengobarkan api permusuhan.

Saat ini, jari-jari kita sering kali menjadi perantara bagi tersebarnya berita palsu yang belum jelas kebenarannya. Tanpa tabayun (verifikasi), seseorang dengan mudah menyebarkan informasi yang menyesatkan dan bahkan menimbulkan perpecahan. Al-Qur’an sendiri telah menegaskan prinsip pertanggungjawaban total tentang ini:

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban” [Al-Israa/17 : 36]

Setelah memaparkan secara mendalam bahaya dan konsekuensi abadi dari penyalahgunaan “tangan digital” serta munculnya era pasca kebenaran, Islam tidak meninggalkan umatnya tanpa solusi. Di tengah derasnya arus informasi yang sering kali keruh dan menyesatkan, Al-Qur’an memberikan sebuah perisai etis yang fundamental, yaitu prinsip tabayyun.

Padahal, dalam Islam, prinsip tabayyun adalah hal yang sangat ditekankan, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat ayat 6:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu“.

Ayat ini merupakan fondasi utama bagi etika penerimaan informasi dalam Islam dan menjadi semakin krusial di era hoaks dan disinformasi (post-truth).  Tabayyun adalah pilar utama literasi digital dalam perspektif Islam. Ia adalah perisai aktif yang tidak hanya melindungi diri sendiri dari dosa menyebarkan kebohongan, tetapi juga melindungi masyarakat dari polusi informasi dan fitnah yang dapat merusak tatanan sosial.

Tabayyun bukan sekadar aktivitas “cek dan ricek” yang mekanis. Ia adalah sebuah sikap mental, sebuah disiplin intelektual dan spiritual yang harus dimiliki setiap Muslim. Dalam konteks digital, tabayyun dapat diwujudkan melalui langkah-langkah praktis berikut:

  1. Identifikasi dan Evaluasi Sumber: Langkah pertama adalah mempertanyakan asal-usul informasi. Apakah sumbernya kredibel, memiliki rekam jejak yang baik, dan memiliki otoritas di bidangnya? Berita dari situs web anonim atau akun media sosial yang tidak terverifikasi harus diterima dengan tingkat skeptisisme yang sangat tinggi.
  2. Verifikasi Informasi Lintas Platform: Jangan pernah memercayai satu sumber saja. Bandingkan informasi yang diterima dengan berita dari beberapa media arus utama yang terpercaya atau sumber resmi lainnya untuk melihat apakah ada konsistensi atau justru kontradiksi.  
  3. Analisis Motif dan Narasi: Bertanyalah pada diri sendiri: Apa tujuan di balik penyebaran informasi ini? Apakah untuk mencerahkan dan memberikan fakta, atau untuk memprovokasi, menciptakan kepanikan, dan menyudutkan pihak tertentu? Sering kali, judul yang sensasional dan bahasa yang emosional adalah tanda-tanda disinformasi.  
  4. Pertimbangkan Dampak (Maslahah & Mafsadah): Sebelum memutuskan untuk membagikan sebuah informasi, seorang Muslim wajib menimbang dampaknya. Apakah menyebarkan informasi ini akan mendatangkan lebih banyak kebaikan (maslahah) atau justru lebih banyak kerusakan (mafsadah)? Jika potensi kerusakannya lebih besar, maka menahan diri untuk tidak menyebar adalah pilihan yang lebih bijak dan bertanggung jawab, sejalan dengan prinsip maqāṣid al-syar’ah (tujuan-tujuan syariat).  

Apakah kita sedang memasuki gerbang akhir zaman melalui era pasca kebenaran? Narasi dari buku Marketing 5.0, hadis Nabi, dan refleksi para pemikir kontemporer menyiratkan peringatan serius: tanpa kewaspadaan dan upaya memperkuat nilai kemanusiaan dan kebenaran, teknologi dapat menjadi pintu gerbang kehancuran moral, memenuhi ramalan fitnah besar yang akan menguji keimanan dan ketahanan umat manusia.

Pada akhirnya, setiap individu yang berinteraksi di ruang digital dihadapkan pada sebuah pilihan fundamental yang sejatinya tak jauh berbeda dengan pilihan yang dihadapi para penentang dakwah di masa lalu. “Tangan digital” kita dapat menjadi perpanjangan dari tangan Abu Lahab—yakni sebagai instrumen untuk menebar kebencian, menyebarkan kebohongan, dan memecah belah persaudaraan. Jika demikian, maka kita pun berisiko menanggung kebinasaan moral dan spiritual, serta meninggalkan jejak dosa jariyah yang terus mengalir, bahkan setelah kehidupan di dunia ini berakhir.

Namun, kita juga memiliki peluang untuk menapaki jalan yang berbeda. Tangan digital yang sama dapat menjadi tangan yang diberkahi—digunakan untuk menyampaikan ilmu yang bermanfaat, memperkuat ukhuwah, menyuarakan kebenaran, dan mengajak kepada nilai-nilai kebaikan. Pilihan ini bukan hanya menghadirkan keberkahan dalam kehidupan dunia, tetapi juga mewariskan amal jariyah yang pahalanya tak terputus. Di sinilah letak jihad kontemporer kita: melawan arus kebatilan yang kerap menyamar sebagai kebebasan berekspresi, dan menjadikan setiap ketikan, unggahan, serta interaksi digital sebagai bentuk pertanggungjawaban etis dan spiritual di hadapan Allah Swt.

Lalu, dalam lanskap dunia yang makin kabur batas antara fakta dan rekayasa, kita dihadapkan pada pertanyaan yang tak bisa dihindari: Akankah tangan digital ini menjadi alat yang mencelakakan—mendorong lahirnya era pasca-kebenaran yang menggusur nilai kemanusiaan? Ataukah justru menjadi wasilah untuk menjaga hati agar tetap berada dalam penghambaan yang ikhlas, dibimbing oleh ilmu, dan diteguhkan oleh takwa? Jawabannya ada pada setiap pilihan sadar yang kita ambil, setiap hari, di balik layar.

Firja Al Ghifari

Mahasiswa Informatika UIN Sunan Kalijaga

Referensi :

  1. Al‑Manhaj. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Tafsir surat Al‑Lahab. Diakses dari https://almanhaj.or.id/1732-tafsir-surat-al-lahab.html Media Islam Salafiyyah
  2. Al‑Manhaj. (DR Abdul Azhim Al Badawi). Berita dan bahayanya. Diakses dari https://almanhaj.or.id/2634-berita-dan-bahayanya.html
  3. Al‑Manhaj. (Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr). Menjaga lisan agar selalu berbicara baik. Diakses dari https://almanhaj.or.id/3197-menjaga-lisan-agar-selalu-berbicara-baik.html
  4. Dewan Pengkajian dan Pendalaman Islam (DPPAI UII). (Muhammad Nafiuddin Fadly). Tabayyun dalam menerima berita. Diakses dari https://dppai.uii.ac.id/tabayyun-dalam-menerima-berita/
  5. Universitas Islam Negeri Jakarta. (Dr Muhbib A Wahab, Senin, 26 Maret 2018). Literasi digital dan etika informasi. Diakses dari https://www.uinjkt.ac.id/id/literasi-digital-dan-etika-informasi/
  6. Nazaruddin, Muhammad Alfiansyah. (2021). ETIKA KOMUNIKASI ISLAMI DI MEDIA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF ALQURAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEUTUHAN NEGARA. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/481154-none-17d3add0.pdf
  7. Al‑Manhaj. (Ustadz Syaikh Mudrika). Mengapa mesti tabayyun. Diakses dari https://almanhaj.or.id/3445-mengapa-mesti-tabayyun.html
  8. Kotler, P., Kartajaya, H., & Setiawan, I. (2022). Marketing 5.0: Teknologi untuk kemanusiaan. Gramedia Pustaka Utama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *